Guru Lentera Literasi di Masa Pandemi

By Administrator 10 Des 2021, 07:50:23 WIB Artikel
Guru Lentera Literasi di Masa Pandemi

Keprihatinan terhadap persoalan rendahnya literasi masyarakat kita, baik di lembaga-lembaga pendidikan di semua tingkatan maupun masyarakat umum, bahkan termasuk para pendidik sangat mengkhawatirkan.

Apalagi kalau dibanding dengan kemampuan dan budaya literasi di negeri orang lain, bahkan dengan Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapore, Thailand, Philippine, dan lain-lain. Budaya literasi bangsa Indonesia jauh tertinggal di belakang. Sebab, bila berpegang pada hasil riset yang dikeluarkan oleh UNESCO yang menempatkan kemampuan literasi Indonesia berada pada posisi ke 60 dari 61 negara. Ini beberapa tahun lalu. Bagaimana dengan saat ini?

 

Selain data UNESCO tersebut, tentu pula banyak data lain yang menjelaskan betapa rendahnya budaya literasi bangsa kita, yang berdampak besar terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang jumlahnya sudah lebih kurang 270 juta jiwa ini.

 

Data lain seperti data Penelitian Pemeringkatan Literasi melalui Indeks Literasi Nasional oleh kemendikbud yang menghasilkan Indeks Alibaca (angkatan Literasi Membaca) Indonesia yang disampaikan pada tahun 2019 memperlihatkan hasil bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, terdapat sembilan provinsi (26%) masuk dalam kategori aktivitas literasi sedang; 24 provinsi (71%) masuk kategori rendah; dan satu provinsi (3%) masuk kategori sangat rendah.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik Indonesia sudah mampu membaca namun masih mengalami buta huruf fungsional; mereka mampu membaca namun tidak dapat menangkap pesan dari apa yang sudah mereka baca, mereka masih kesulitan dalam memahami konteks wacana dengan tepat terhadap teks yang mereka baca dan masih kesulitan dalam menjawab pertanyaan berdasarkan informasi dalam teks.

 Maka, wajar kalau kian banyak orang atau pihak, termasuk pemerintah yang merasa  prihatin terhadap persoalan kemampuan literasi anak negeri ini. Sekali lagi, itu adalah kondisi sebelum pandemi.

 

Nah, bagaimana pula dengan kondisi saat ini, di tengah euforia penggunaan gawai pada semua strata dan usia? Apakah dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang menyediakan banyak sumber bacaan itu, literasi masyarakat kita di semua lini semakin meningkat? Bagaimana pula kondisi literasi masyarakat kita di tengah bencana pandemi Covid 19 saat ini?

 

Bisa jadi semakin parah, karena bila kita melihat realitas pada diri kita, keluarga kita serta di tengah masyarakat kita saat ini, hampir semua terbius dengan gawai yang penuh dengan konten-konten yang bersifat hiburan atau entertainment yang menguras semua perhatian.

 

 Idealnya gawai dengan fasilitas Internet tersebut menyediakan segala macam bacaan yang tidak kalah menarik, karena disajikan dengan teknologi tinggi. Namun, bila kita kaji lebih dalam, apakah seluruh pengguna gawai tersebut mampu meningkatkan literasi mereka? Tampak tidak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan survei atau sejenisnya.

 

Hal ini perlu dilakukan, karena ada pula pihak yang  berpendapat yang mengatakan bahwa minat literasi masyarakat kita rendah saat ini itu keliru. Dikatakan demikian karena pendapat mereka, cara membaca kaum milenial berbeda dengan generasi X atau generasi baby boomers.

 

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, banyak fakta yang memaparkan bahwa literasi kaum milenial semakin rendah. Walau belum ada penelitian sekaliber UNICEF atau PISA, para guru bisa melakukan  penelitian kelas masing-masing.

 

Bila ini dilakukan, pasti akan menemukan fakta yang memilukan dan membuat prihatin akan kondisi tersebut. Apalagi selama ini banyak pihak yang merasa prihatin dan menimbulkan rasa peduli dan kemamuan untuk berbuat atau berpartisipasi mengatasi kondisi buruk saat ini.

 

Fakta lain yang memprihatinkan misalnya jumlah rata-rata orang Indonesia yang hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari 30-59 menit. Ini adalah data yang membuat hati kita sedih.

 

Namun, harus diingat pula bahwa literasi bukan hanya membaca, tetapi lebih dari itu literasi adalah kemampuan untuk mengetahui, mengidentifikasi, menganalisis, hingga mencari solusi terhadap masalah hidup yang lebih baik.

 

Tingkat literasi masyarakat kita semakin rendah, kita hampir meninggalkan semua sumber bacaan yang lengkap, seperti di perpustakaan di sekolah, di Universitas dan juga di perpustakaan-perpustakaan lain. Dan juga taman-taman bacaan di tengah masyarakat. Inilah gambaran keprihatinan dan kegalauan kita terhadap persoalan rendahnya minat membaca.

 

Melihat kondisi demikian, kita tidak cukup dengan hanya prihatin dan bersedih. Ini bukan masalah pribadi, tetapi masalah bangsa, masalah kewajiban negara dan bangsa. Oleh sebab itu, idealnya semua pihak mau bergerak membangun kemampuan literasi anak negeri. Semua orang bisa berperan. Bukan hanya guru, tetapi juga orang orang tua di rumah, masyarakat dan pemerintah harus bersinergi secara serius, konsisten dan berkelanjutan.

 

 

Lalu bagaimana dengan guru? Tentulah guru bisa berperan lebih aktif di sekolah, walau tanggung jawab pertama dan utama ada di dalam keluarga. Namun, guru sebagai pejuang pendidikan yang selalu dekat dengan peserta didik di kelas dan juga di luar kelas, bahkan bisa lebih intens melakukan kegiatan-kegiatan literasi di sekolah. Sangat banyak cara yang bisa dilakukan oleh guru. Namun sangat penting didukung pihak sekolah dan pihak Dinas Pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

 

Kegiatan literasi di sekolah, tentu tidak cukup dengan hanya mengajak peserta didik membaca, tetapi sekalian memfasilitasi peserta didik dengan bahan-bahan bacaan yang menarik serta kegiatan-kegiatan literasi yang bervariasi.

 

Untuk itu peran penting guru dalam membangun gerakan literasi menjadi sangat penting dan menjadi momentum untuk membangun gerakan literasi di tengah keprihatinan dan kegalauan generasi bangsa di masa depan. (ND/01)




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment